Rabu, 23 November 2011

Morfologi Bahasa Indonesia


PEMBAHASAN (MORFOLOGI)
A.      Dasar Morfologi
Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti ‘bentuk’ dan kata logi yang berarti ‘ilmu’. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti ‘ilmu mengenai bentuk’. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti ‘ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata’.
Menurut Crystal (Abdul Muis Ba’dulu dkk, 2005:1), morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem.
Menurut Bauer (2005:2), morfologi membahas struktur internal bentuk kata. Dalam morfologi analisis membagi bentuk kata ke dalam formatif komponennya 9yang kebanyakan merupakan morf yang berwujud akar kata atau afiks), dan berusaha untuk menjelaskan kemunculan setiap formatif.
Menurut Rusmadji (2005:3), morfologi mencakup kata, bagian-bagiannya dan prosesnya.
Menurut O’Grady dan Dobrovolsky (2005:3), morfologi adalah komponen tata bahasa generatif transformasional (TGT) yang  membicarakan tentang struktur internal kata, khususnya kata kompleks. Selanjutnya, mereka membedakan antara teori morfologi umum yang berlaku bagi semua bahasa dengan morfologi khusus yang hanya berlaku pada bahasa tertentu. Teori morfologi umum berkaitan dengan pembahasan mengenai kaidah-kaidah morfologi yang dapat ditemukan dalam bahasa-bahasa alamiah. Sedangkan morfologi khusus merupakan seperangkat kaidah yang mempunyai fungsi ganda, yakni pertama, kaidah ini berkaitan dengan pembentukan kata baru, dan kedua kaidah ini mewakili pengetahuan penutur asli yang tidak disadari tentang struktur internal kata yang sudah ada dalam bahasanya.
Morfologi pada umumnya dibagi ke dalam dua bidang yakni : morfologi infleksional (inflectional morphology) yang membahas berbagai bentuk leksem, dan pembentukan kata (lexical or derivational morphology) yang membahas tentang leksem-leksem baru dari basis tertentu. Pembentukan kata dapat dibagi ke dalam dua bagian yakni derivasi dan pemajemukan (komposisi). Derivasi berkaitan dengan pembentukan leksem baru melalui afiksasi, sedangkan pemajemukan berkaitan dengan pembentukan leksem baru dari dua atau lebih stem potensial.
B.       Satuan Gramatikal
Pembicaraan tentang makna gramatikal perlu melibatkan jenis-jenis tingkatan makna lain. Makna gramatikal baru muncul dalam suatu proses gramatika, baik proses morfologi maupun proses sintaksis. Umpamanya, dalam proses prefiksasi ber- pada dasar dasi muncul makna gramatikal ‘memakai dasi’, dalam proses prefiksasi me- pada dasar batu muncul makna gramatikal ‘menjadi seperti batu’.
Makna gramatikal mempunyai hubunga erat dengan komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam proses pembentukan kata. Setiap makna gramatikal dari suatu proses morfologi akan menampakkan makna/bentuk dasarnya. Makna lekskal dan makna gramatikal ini akan tersisih oleh makna kontekstual atau pemakaian kata itu di dalam konteks kalimat maupun konteks situasi.
C.      Proses Morfologi
Proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status (dalam proses konversi). Proses morfologi dibagi menjadi menjadi :
1.      Afiksasi
Afiksasi atau pengimbuhan adalah pembentukan kata dengan membubuhkan afiks pada morfem dasar baik morfem dasar bebas maupun morfem dasar terikat (pangkal). Misalnya, kata membaca berasal dari leksem baca yang mengalami proses morfologis afiksasi dengan memperoleh afiks meng-. Kata dilihat berasal dari leksem lihat yang mengalami proses morfologis afiksasi dengan memperoleh afiks di-. Afiks di dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas apa yang disebut prefix (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran), dan konfiks (imbuhan terbelah), simulfiks (imbuhan gabung) atau kombinasinya.
Awalan dapat berkombinasi dengan berbagai kategori kata. Misalnya: ber- (V), meng- (V), ter- (V), peng- (N), se- (Adj), ke- (N), per- (N), ber- (Num), ke- (Num).
Akhiran yang digunakan dalam proses morfologis adalah –an, -kan, -i, seperti dalam kawasan, saluran, laporan, tuliskan, dudukkan, lemparkan, tambahi, tulisi, dan cabuti.
Penggunaan sisipan (infiks) tidak seproduktif imbuhan yang lain. Sisipan yang dapat digunakan adalah –el-, -em-, -er-, dan –in-. Sisipan  -el- mengandung makna ‘kumpulan’, ‘aneka’ ; sisipan –em- bermakna ‘sifat’ ; sisipan –er- bermakna ‘mengandung’ ; sisipan –in- digunakan sebagai padanan akhiran asing –end, -ent, dan –and yang berarti ‘yang di-…-kan’ atau –ence. Misalnya kata gelembur memperoleh sisipan –el- yang berarti ‘kumpulan’ ; kata gemaung dan gemuruh memperoleh sisipan –em- yang berarti ‘bersifat’ ; kata serabut memperoleh sisipan –er- yang berarti ‘mengandung’ ; kata kinandar dan tinambah memperoleh sisipan –in- yang berfungsi sebagai padanan akhiran asing –end- (-and). 
 Bahasa Indonesia tergolong bahasa dengan sistem “aglutinasi”, itu sebabnya imbuhan dan pengimbuhan kata (afiksasi) memainkan peranan penting dalam sistem morfologinya.


2.      Reduplikasi
Reduplikasi atau pengulangan adalah proses morfologis yang mengubah sebuah leksem menjad kata setelah mengalami proses morfologis reduplikasi, entah dwipurwa (pengulangan suku awal), entah dwilingga (pengulangan penuh), dwilingga salin suara (pengulangan penuh yang berubah bunyi), dwiwasana (pengulangan suku akhir). Misalnya, leksem rumah dapat dibentuk menjadi sebuah kata ulang dengan menggunakan proses morfologis reduplikasi dwilingga menjadi rumah-rumah. Leksem tamu dapat dibentuk menjadi sebuah kata ulang dengan menggunakan proses morfologis reduplikadi dwipurwa menjadi tetamu. Leksem balik dapat dibentuk menjadi kata ulang dengan menggunakan proses morfologis reduplikasi dwilingga salin suara menjadi bolak-balik. Selain pengulangan yang telah dikemukakan, pengulangan dapat pula dilakukan dengan penambahan imbuhan pada kata ulangnya, seperti dedaunan, pepohonan.
3.      Pemajemukan atau komposisi
Konstruksi majemuk terdiri atas dua morfem atau dua kata dan bias lebih yang membentuk satu pengertian. Konstruksi majemuk tidak lagi menonjolkan makna tiap komponennya, tetapi menonjolkan makna yang ditimbulkan oleh gabungan komponen itu sekaligus.
Dalam bahasa, yang mempunyai satu tekanan tinggi dalam setiap kata, kata majemuk dapat dibedakan dari frase dengan ciri itu. Urutan komponen-komponen kata majemuk lebih mantap dibandingkan dengan urutan kata dalam frase yang lebih bebas.
Banyak para ahli yang berpendapat bahwa kata majemuk dalam bahasa Indonesia adalah bahwa antara komponen-komponen kata majemuk tidak dapat disisipkan unsur lain. Penyusupan unsur lain di antara komponen-komponennya akan memecahkan sifat kemajemukannya itu. Makna yang tersimpul dalam kata majemuk itu akan hilang bila disisipkan unsure lain di antara komponennya.
Kata majemuk dapat terdiri atas akar + akar seperti rumah makan, meja tulis ; terdiri atas akar +  pangkal seperti pada daya juang ; terdri atas pangkal + akar seperti pada temu karya.
4.      Modifikasi intern
Proses morfologis yang disebut modifikasi intern jarang terdapat pada bahasa-bahasa di dunia. Modifikasi intern biasanya terjadi karena ada perubahan pada bagian dalam morfem.
5.      Suplisi
Proses perubahan morfologi suplisi adalah perubahan bentuk yang menunjukkan bentuk yang sama sekali baru dibandingkan dengan bentuk morfem asalnya. Contohnya dari bahasa Inggris :
Kala kini                 kala lampau                 arti
/gow/                       /wen/                            ‘pergi’
6.      Modifikasi zero
Modifikasi zero atau tanujud adalah suatu bentuk perubahan yang tidak terlihat pada wujud lahiriahnya, tetapi terlihat pada konsepnya. Contoh :
Tunggal                   Jamak                          Arti
/siyp/                       /siyp/                            ‘biri-biri’.
7.      Abreviasi
Abreviasi adalah proses morfologis yang mengubah leksem atau gabungan leksem menjadi kepemdekan. Pemendekan kata (abreviasi) merupakan salah satu cara proses pembentukan kata, yakni dengan menyingkat kata menjadi huruf, bagian kata sehingga membentuk sebuah kata.  Pembentukan kata melalui proses abreviasi ini meliputi singkatan, akronim, dan lambang. Contohnya :
Singkatan    : GNB ( Gerakan Nonblok)
Akronim     : Salir (Saluran air)
Lambang     : cm (sentimeter)
8.      Derivasi balik
Derivasi balik merupakan proses yang dapat menjelaskan mengapa bentuk dipungkiri yang seharusnya dimungkiri. Misalnya kalimat yang benar adalah Tidak dapat dimungkiri bahwa partai politik yang terlalu banyak akan membignungkan pemilih, bukan Tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik yang terlalu banyak akan membingungkan pemilih.
9.      Metanalisis
Metanalisis merupakan proses yang dapat menjelaskan bentuk-bentuk. Contohnya seperti : tunakarya, tunasusila, tunanetra, tunawisma, tunadaksa, tunagrahita. Kesemuanya ini adalah bentuk metanalisis.
10.  Analogi
Pembentukan kata melalui proses morfologis analogi dilakukan dengan bertolak dari bentuk yang sudah ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya : di dalam bahasa Indonesia, terdapat kata pesuruh yang berarti ‘orang yang disuruh’ di samping kata penyuruh ‘orang yang menyuruh; maka, dibentuk kata lain dengan beranalogi paada kata pesuruh itu. Seperti pesuluh (orang yang disuluh), petatar (orang yang ditatar).
11.  Kombinasi Proses
Semua bentuk dalam proses morfologis itu dapat berkombinasi sehingga ada bentuk seperti perkeretaapian, kemurahan hati, di-KEPRES-kan, ditilang, dan sebagainya.

12.  Infleksi dan Derivasi
Untuk memenuhi makna serta perbedaan kedua proses morfologi ini, berikut dikemukakan pendapat beberapa linguis. Menurut Nida (Abdul Muis Ba’dulu, 2005:11), perbedaan antara infleksi dan derivasi adalah :
Infleksi
Derivasi
1.      Cenderung merupakan formasi luar, muncul lebih jauh dari stem ketimbang afiks derivasional.
2.      Cenderung kurang bervariasi, namun dengan distribusi yang luas.
3.      Digunakan untuk mencocokkan kata-kata bagi pemakaian dalam sintaksis, namun tidak pernah mengubah kelas kata.
4.      Kata-kata yang dibentuk melalui infleksi tidak termasuk kelas distribusi yang sama dengan anggota-anggota yang tidak diinflikasikan dari kelas yang sama. Inflikasi relevan secara sintaksis.
5.      Paradigma infleksional cenderung dibatasi dengan baik, homogen dan menentukan kelas-kelas bentuk mayor.
1.      Cenderung merupakan formasi dalam, muncul lebih dekat ke stem ketimbang afiks derivasional.
2.      Cenderung lebih bervariasi, namun dengan distribusi yang terbatas.
3.      Digunakan untuk menetapkan kata-kata dalam suatu kelas, dan umumnya mengubah kelas kata.
4.      Kata-kata yang dibentuk melalui derivasi termasuk kelas distribusi yang sama dengan angota-anggota yang tidak diturunkan. Perubahan yang diakibatkan oleh derivasi relevan secara morfologis.
5.      Paradigma derivasional cenderung tidak dibatasi dengan baik heterogen, dan hanya menentukan kata-kata tunggal.

Menurut Bickford dkk (2005:12), morfologi sering dibagi ke dalam dua kategori besar, yaitu morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Morfologi derivasional mengambil satu kata dan mengubahnya menjadi kata yang lain, yakni menciptakan entri-entri leksikal baru. Sementara morfologi infleksional tidak mengubah satu kata menjadi kata yang lain dan tidak pernah mengubah kategori sintaksis, sebaliknya menghasilkan bentuk lain dari kata yang sama.
Ada tiga perbedaan penting lainnya antara infleksi dan derivasi. Pertama, menyangkut produktivitas; morfologi infleksional sangat produktif, sedang morfologi derivasional biasanya tidak produktif. Kedua, afiks derivasional memiliki makna leksikal, sedangkan afiks infleksional memiliki makna gramatikal. Ketiga, infleksional biasanya disusun ke dalam suatu paradigma, sedangkan derivasional tidak.

D.      Proses Morfofonemik
Morfofonemik (disebut juga morfonologi atau morfofonologi) adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat dari adanya proses mofologi, baik proses afiksasi, reduplikasi maupun komposisi.
1.      Jenis Perubahan
Dalam bahasa Indonesia ada beberapa jenis perubahan fonem berkenaan dengan proses morfologi ini. Di antaranya adalah :
a.       Pemunculan fonem, yakni munculnya fonem (bunyi) dalam proses morfologi yang pada mulanya tidak ada. Misalnya, dalam proses pengimbuhan prefiks me- pada dasar baca akan memunculkan bunyi sengau [m] yang semula tidak ada. Contoh: hari + an à hariyan
b.      Pelepasan fonem, yakni hilangnya fonem dalam suatu proses morfologi. Misalnya, dalam proses pengimbuhan prefiks ber- pada dasar renang, maka bunyi [r] yang ada pada prefiks ber- dilesapkan.
Contoh: ber + renang  à berenang
c.       Peluluhan fonem, yakni luluhnya sebuah fonem serta disenyawakan dengan fonem lain dalam suatu proses morfologi.  Misalnya, dalam pengimbuhan prefiks me- pada dasar sikat, maka fonem [s] pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan fonem nasa /ny/.
Contoh: me + sikat      à menyikat
d.      Perubahan fonem, yakni berubahnya sebuah fonem atau sebuah bunyi, sebagai akibat terjadinya proses morfologi.
Contohnya: ber + ajar  à belajar
e.       Pergeseran fonem, yakni berubahnya posisi sebuah fonem dari satu suku kata ke dalam suku kata yang lain.
Contoh: lompat + I      à me.lom.pati
              Ja.wab + an   à ja.wa.ban

2.      Morfofonemik dalam pembentukan kata bahasa Indonesia
a.       Morfofonemik prefiks meng-
1)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /e/, /k/, /h/, atau /x/, bentuk tetap meng- tetap meng-/men-/. Misalnya: mengawali, mengikuti, mengubah , mengekor, mengarang, dan menghitung.
2)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, /m/, /n/, /n/, /n/, /r/, /y/, atau /w/, bentuk tersebut akan menjadi me-. Misalnya: melalui, meronta, meyakini, mewariskan.
3)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /d/, atau /t/, bentuk tersebut menjadi men-. Misalnhya: mendengar, menulis.
4)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /p/, atau /f/, bentuk tersebut menjadi mem-. Misalnya: membawa, memarkir, memfitnah.
5)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /j/, /s/, dan /s/, bentuk tersebut menjadi men-, meny-, men-. Misalnya mencubit, mencopot, menjadikan, menjajakan, menyapu.
6)      Jika prefiks meng- ditambahkan pada dasar yang bersuku satu, bentuk tersebut menjadi menge-. Misalnya: mengelas, mengerem, mengecat, mengelap.
7)      Jika verba yang berdasar tunggal direduplikasi, dasarnya diulangi dengan mempertahankan peluluhan konsonan pertamanya. Dasar yang besuku satu mempertahankan unsure nge- di depan dasar yang direduplikasi. Sufiks tidak ikut direduplikasi. Misalnya: menulis-nulis, menari-neri, mengelap-ngelap, mengecat-ngecat.

b.      Morfofonemik prefiks per-
1)      Prefiks per- berubah menjadi pe-- apabila ditambahkan pada dasar yang dimulai fonem /r/ atau dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /er/. Misalnya: perasa, peraba, pekerja, peserta.
2)      Prefiks per- berubah menjadi pel- apabila ditambahkan pada bentuk dasar ajar. Misalnya: per- + ajari à pelajari.
3)      Prefiks per- tidak mengalami perubahan bentuk jika bergabung dengan dasar lain di luar kaidah 1 dan 2 di atas. Misalnya: perdalam, perluas, perhalus, perkaya, perintah, perbaiki.

c.       Morfofonemik prefiks ber-
1)      Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/. Misalnya: beransel, berupa, berenang, berendam.
2)      Prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /er/.
Misalnya: ber- + kerja             à bekerja
                 ber- + serta                   à beserta
                 ber- + pergi + an          à bepergian
3)      Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada dasar tertentu.
Misalnya: ber- + ajar   à belajar
4)      Prefiks ber- tdak berubah bentuknya apabila digabungkan dengan dasar di luar kaidah 1-3 di atas.
Misalnya: ber- +  layar            à berlayar
                 ber- +  peran                 à  berperan

d.      Morfofonemik prefiks ter-
Prefiks ter- berubah menjadi te- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/. Misalnya: ter- + rebut      à terebut
                                                     ter- + rasa        à terasa
Sebagaimana afiks per- dan ber-, afiks ter- juga kehilangan fonem /r/ sehingga hanya ada satu r.
1)      Jika suku pertama kata dasar berakhir dengan bunyi /er/, fonem /r/ pada prefiks ter- ada yang muncul dan ada pula yang tidak.
Misalnya: ter- + percaya          à terpercaya
                      ter- + cermin            à tercermin
2)      Di luar kedua kaidah di atas, ter- tidak berubah bentuknya.
Misalnya: ter- + pilih               à terpilih
                      ter- + bawa              à terbawa

3.      Bentuk bernasal dan tak bernasal
Hadir dan tidaknya bunyi nasal dalam pembentukan kata bahasa Indonesia sangat erat kaitannya dengan tiga hal, yakni : pertama, tipe verba yang “menurunkan” bentuk kata itu; kedua, upaya pembentukan kata sebagai istilah; ketiga, upaya pemberian makna tertentu.


a.       Kaitan dengan tipe verba
Dalam bahasa Indonesia ada empat macam tipe verba dalam kaitannya dengan proses nasalisasi. Keempat verba itu adalah (a) verba berprefiks me- (termasuk verba me-kan, dan me-i), (b) verba berprefiks me- dengan pangkal per-, per-kan, dan per-l), (c) verba berprefiks ber-, dan (d) verba dasar (tanpa afiks apapun).
Kaidah penasalan untuk verba berprefiks me- (dengan nomina pe- dan pe-an) yang diturunkan adalah sebagai berikut.
1)      Nasal tidak akan muncul bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem / l, r, w, y, m, n, ny, atau ng/. Contoh:
·         Meloncat, peloncat, peloncatan
·         Merawat, perawat, perawatan
2)      Akan muncul nasal /m/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /b, p, dan f/. Contohnya:
·         Membina, pembina, pembinaan
·         Memilih, pemillih, pemilihan
3)      Akan muncul nasal /n/ bila bentuk dasarnya mulai dengan fonem /d, atau t/. Contoh:
·         Mendengar, pendengar, pendengaran
·         Mendapat, pendapat, pendapatan
4)      Akan muncul nasal /ny/ bila bentuk dasarnya mulai denga fonem /s, c, dan j/. Contoh:
·         Menyambut, penyambut, penyambutan
·         Menyakiti, penyakit, penyakitan
5)      Akan muncul nasal /ng/ bila bentuk dasarnya diawali dengan fonem /k, g, h, kh, a, i, u, e, atau o/. Contoh:
·         Mengirim, pengirim, pengiriman
·         Menggali, penggali, penggalian
6)      Akan muncul nasal /nge-/ apabila bentuk dasarnya berupa kata ekasuku. Misalnya:
·         Mengetik, pengetik, pengetikan
·         Mengelas, pengelas, pengelasan
Kaidah penasalan untuk verba berprefiks me- yang bentuk dasarnya berupa pangkal berafiks per-, per-kan, dan per-l (dengan nomina bentuk pe- dan pe-an yang diturunkannya) adalah sebagai berikut.
1)      Fonem /p/ sebagai fonem awal pada dasar yang berupa pangkal per-, per-kan, atau per-l tidak diluluhkan dengan nasal /m/ bila diimbuhi prefiks me-, karena fonem /p/ itu adalah sebagian dari prefiks ­pe- yang menjadi dasar pembentukan. Contoh: me + perpendek à memperpendek.
2)      Nomina pelaku yang diturunkan dari verba memper bersifat potensial, dan nomina hal/proses bersifat aktual menggunakan bentuk per-an.
Contoh: memperpendek à perpendekan.
3)      Nomina pelaku yang diturunkandari verba memper-kan dan memper-l adalah bentuk pemer-; ada yang aktual ada yang masih potensial.
Contoh: mempersatukan à pemersatu.
4)      Nomina hal/proses yang diturunkan dari verba memper-kan atau memper-l berbentuk pemer-an. Contoh: mempertahankan à pemertahanan.
Pembentukan nomina pelaku berprefiks pe- dan nomina hal yang berkonfiks per-an tidak memunculkan bunyi nasal kita. Contoh:
·         Bekerja à pekerja à pekerjaan
·         Bertani à petani à pertanian

b.      Kaitan dengan upaya pembentukan istilah
Dalam peristilahan olahraga sudah ada istilah petinju (yang diturunkan dari verba bertinju) sebagai suatu profesi, yang berbeda dengan bentuk peninju (yang diturunkan dari verba meninju) yang bukan menyatakan profesi. Kemudian berdasarkan bentuk petinju dibuatlah istilah-istilah dalam bidang olahraga seperti petembak (bukan penembak), petenis (bukan penenis), peterjun (payung) (bukan penerjun payung), pegolf (bukan penggolf). Jika dilihat bentuk-bentuk tersebut sebenarnya menurut kaidah penasalan haruslah bernasal. Namun, sebagai istilah yang dibuat secara analogi tidak diberi nasal. 

c.       Kaitan dengan upaya semantik
Untuk memberi makna tertentu, bentuk yang seharusnya tidak bernasal diberi nasal. Umpamanya, bentuk mengkaji dalam arti ‘meneliti’ dibedakan dengan bentuk mengkaji yang berarti ‘membaca Alquran’. Contoh yang lain: penjabat à pejabat, penglepasan à pelepasan.
Sementara itu, tanpa perbedaan semantik, pasangan kata dengan peluluhan fonem awal bentuk dasar dan dengan yang tanpa pelluluhan lazim digunakan orang secara bersaingan.
Contoh: mensukseskan à menyukseskan, mengkombinasikan à mengombinasikan.

Daftar Pustaka
A.R. Syamsudin. 2007. Modul Struktur Bahasa Indonesia. Bandung : Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Arifin, Zaenal., dkk. 2007. Morfologi Bentuk, Makna dan Fungsi. Jakarta : Grasindo.
Ba’dulu, Muis, Abdul., dkk. 2005. Morfosintaksis. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta : Rineka Cipta.